HIKMAH MANAQIB
SYEKH ABDUL QODIR AL-JAILANI qs
I.
Mukodimah
Segala puja, puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat
Allah SWT, Sholawat dan salam kita limpahkan kepada Jungjunan alam habibana wa Nabiyyanan
Muhammad SAW., kepada keluarganya, sehabatnya, dan para Aulia Allah serta para
sholihin sampai akhir zaman, Karena dengan Kudrat dan Irodat Allah SWT. Serta
dengan wasilah para hamba pilihan kitapun diberi kemampuan dan kemauan untuk
mempelajari dan mengamalkan serta mengikuti rotinitas amaliah dalam beribadah.
Firman
Allah SWT:
“dan
jika mereka istiqomah berada di atas jalan yang lurus (thoriqoh), maka kami
benar-benar akan memberi mereka minum air yang segar (rizqi yang banyak) (QS. Al-Jin, ayat: 16)
Kalau sering dikaji dan diteliti
serta rotin hadir dalam acara amaliyah Manaqiban, maka dari manqobah ke manqobah
dalam Kitab Manaqib Syekh Abdul qodir Al-Jailani qs. yang dijadikan salah satu
rujukan amaliah rotin Ikhwan TQN. Pontren Suryalaya terutama yang berbahasa
sunda, dari susunan kata-katanya saja mengandung arti dan berbagai makna mulia
serta pelajaran kaafah/lengkap mengagumkan, bisa membawa kepada kebahagiaan
hidup yang haqiqi di dunia dan di akherat; apalagi mampu menggali kata-kata
karomah yang tak terjangkau oleh nalar dan pikiran, karena semua itu merupakan
karunia dari Allah SWT. bagi hamba-hamba pilihan, baik itu para Rasul, para
Nabi, para Shahabat, para Suhada, para Sholihin dan yang bersahabat baik dengan
mereka.
Rasulullah
bersabda:
“memperingati
orang-orang sholeh adalah kifarat dari dosa dan dengannya akan turun rahmat
(kasih sayang) serta sampainya keberkahan (bertambah kebaikan)”.
Ulama-ulama ‘Arifiin
mengingatkan: takutlah/berhati-hatilah dengan firasatnya orang-orang beriman
karena dengan keihlasan hati penuh iman, mereka dapat melihat jauh kedepan
apa-apa yang tidak dapat kita lihat dan dengan kasih sayang Allah SWT. Mereka
dapat merasakan apa-apa yang kita belum rasakan, ahli syair berkata: “Nabimu selalu menunggu dengan cemas
memikirkanmu”. Nabi Saw bersabda: “aku
menghawatirkan keadaan ummatku yang ada di akhir zaman” (Kitab Sirrur Asror
hal. 16)
Tulisan
ini ibarat setetes air di lautan yang masih jauh dari kesempurnaan mampu mengambil seluruh
hikmah/pelajaran dari Kitab Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs., mengingat
keterbatasan ilmu,amal,dan waktu kami dalam berhidmat. Namun karena adanya
permintaan dan dukungan kuat dari rekan-rekan yang merasa haus di perjalanan,
maka dengan segala kemampuan, kami tuangkan setetes air ini semoga menjadi amal
bakti dan bermanfaat. Adapun yang kami sajikan berupa terjemahan Buku Manaqib
dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia dan beberapa hikmah/pelajaran dengan
memberikan tamsil atau pemahaman yang serupa (kias) dan tafsir dari sebagian
kata-kata yang tersusun. sebab susunan kata-kata dalam Manqobah yang berbahasa
Sunda (menurut kami) selain memiliki makna Karomah juga kaya dengan bahasa
falsafah azas dalam amaliyah.
Wallohu ‘Alam.
II.
Arti Hikmah Manaqib Syekh Abdul
Qodir Al-Jailani
Hikmah dalam kamus bahasa arab artinya:
“mengetahui yang benar”, Manaqib adalah bentuk jama dari kata
manqobah artinya: “kebaikan atau sifat”.
Di dalam kamus Al-Munjid Manaqib dijelaskan sbb: “yang dengan Manaqib, diketahui apa-apa (yang berhubungan) dengan perangai
terpuji dan akhlak mulia cantik/indah/bagus.
Jadi
yang dimaksud Hikmah Manaqib Syekh Abdul
Qodir Al-Jailani qs. disini adalah:
mengetahui dengan benar tentang kebaikan, sifat, perangai terpuji dan akhlak
mulia Tuan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs.
III.
Pembukaan Kitab Manaqib
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segenap
puji yang sempurna dan sanjungan seutuhnya adalah tetap milik Allah SWT. yang
menyayangi kepada hamba-hamba-Nya dan mengangkat darajat yang berbakti
kepada-Nya. Rahmat serta salam yang utama
semoga tetap bagi Nabi yang paling utama, yaitu Nabi Muhammad SAW yang sudah
diperkuat dengan Mu’jizat dan diutus jadi rahmat begi seluruh alam, kepada
keluarganya, kepada semua sahabatnya, kepada para wali Allah SWT yang telah
ditinggikan dan diberi bermaca-macam karormah. Amma Ba’du
Maka
ini sebuah kitab yang sangat ringkas, meriwayatkan Manaqibnya Raja Para Wali
dan Imam para Ulama, yaitu Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs. dikutip dari Kitab
‘Uquudul La’aalii fii Manaqibil Jaelii dan dari Kitab Tafriihul Khootir fii
Manaaqibisy Syayyid Abdul Qodir, semoga ada manfaatnya bagi para ikhwan yang
mau membaca atau mendengrkan dengan mengagungkan pemilik Manaqib ini. Semoga
dengan barorkah dari pemilik Manaqib ini Allah SWT Yang Maha Suci, bagi kita
semua, menurunkan Rahmat dan menolak dari bermacam-macam musibah dunia akhirat,
dihasilkan maksud dan di beri keselamatan. Aamiin….
MANQOBAH KE- 15 :
NAMA SYEKH ABDUL QODIR AL-JAIANI SEPERTI ISMUL 'ADHOM
Diriwayatkan di dalam Kitab Haqooiqul Haqooiq: ada seorang perempuan menghadap Syekh Abdul Qodir dan berkata:“Tuan saya ini punya anak hanya satu-satunya, sekarang tenggelam di lautan; adapun saya punya keyakinan bahwa Tuan bisa mengembalikan anak saya serta hidup. Syayyid Abdul Qodir berkata: “benar..Silahkan saja kembali, anakmu sudah ada dirumah”. dari situ (dengan petunjuk Syekh Abdul Qodir) perempuan itu segera kembali, ketika sapai dirumah, anaknya tidak ada. Segera ia menghadap Syayyid Abdul Qodir lagi sambil menangis dan menyatakan bahwa anaknya tidak ada di rumah. Kata Syayyid Abdul Qodir: “sekarang itu tentu sudah ada”. perempuan itu segera kembali lagi kerumah dan anaknya tetap belum ada. semakin jadi dan memilukan tangisan perempuan itu kemudian menghadap Syayyid Abdul Qodir dengan penuh harap agar anaknya hidup lagi dan ada lagi. kemudian Syayyid Abdul Qodir menundukan kepala, setelah itu beliau berkata: “Sekarang tidak salah lagi bahwa anakmu sudah ada”. perempuan itu segera kembali lagi kerumah, ketika sampai dirumah ternyata anaknya sudah ada serta selamat.
Dari situ (Atas kejadian ini) Syayyid Abdul Qodir munajat kepada Allah SWT. dan berkata: Saya merasa malu dengn perempuan tadi sampai tiga kali baru anaknya ada, mengapa terjadi demikian dan apa hikmahnya diperlambat sampai saya harus memikul malu dua kali. Firman Allah SWT.: perkataanmu kepada perempuan itu semuanya juga benar. Yang pertama menyebutkan ada... itu benar, namun malaikat baru mengumpulkan jiwa raganya yang berserakan. Perkataanmu yang ke-dua juga benar namun baru lengkap anggahota tubuhnya serta dihidupkan. Dan yang ketiga kalinya ketika perempuan itu sudah sampai dirumah, anaknya sudah diangkat dari lautan, dan didatangkan kerumahnya.
Kemudian Syayyid Abdul Qodir qs. munajat lagi dan berkata: Yaa Allah SWT. Engkau membuat makhluk yang tak terhingga tidak mendapat kesulitan, begitu pula di alam ba’asy mengumpulkan jiwa raga makhluk yang sangat banyak hanya sekajap nyata. Sedangkan dalam masalah ini hanya seorang hamba, Ya..Allah SWT. apa hikmahnya sampai lama sekali?. Firman Allah SWT.: “Abdul Qodir engkau jangan jadi sakit hati, sekarang silahkan segera minta, ingin apa? Tentu Aku kabulkan. Terus Syayyid Abdul Qodir bersujud dan berkata: Yaa Allah SWT. Engkau Kholik (yang membuat) sedangkan aku makhluk (yang dibuat) apapun pemberian-Mu aku sangat bersyukur. Firman Allah SWT.: siapapun yang melihatmu pada hari Jum’at akan Aku jadikan wali dan bila engkau melihat tanah tentu jadi emas. Kata Syayyid Abdul Qodir. Ya.. Allah keduanya itu juga kurang ada manfa’atnya bagiku setelah aku mati, aku memohon yang lebih aggung dari itu dan tetap manfaatnya setelah aku mati. Firman Allah SWT. Namamu djadikan seperti nama Kami dalam balasan atau ganjaran dan kemanjuranya, siapa yang membaca namamu pahalanya sama dengan membaca nama Kami.
Hikmahnya:
Dalam kisah ini tersirat satu pemahaman, bahwa pada dasarnya manusia lahir kedunia dalam keadaan lemah tidak tahu apa-apa bahkan kehilangan hakekat manusia/bayi maknawi dari lubuk hatinya. tenggelam di dasar lautan duniawi, terobsesi oleh persoalan hidup, terhalang dan terbelenggu oleh Nafsaniah Al-Khobisah (Nafsu jasmani) dari megingat Allah SWT.
Firman Allah SWT.:
“Dan Allah SWT. mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur. (QS.16, An-Nahl, ayat: 78)
Firman Allah SWT:
“Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi musuh (penantang) yang nyata (QS. Yasin. Ayat: 77)
Untuk menggambarkan keadaan tersebut bisa ditamsilkan dengan seorang perempuan, karena perempuan bersifat lemah dan membutuhkan pertolongan. Mafhum mukholafah dari perempuan adalah laki-laki, istilah laki-laki adalah menggambarkan sosok yang kuat, memiliki kemampuan memimpin dan memberi pertolongan. Sebagaimana Firman Allah SWT. di dalam Al-Qur’an sebutan laki-laki tidak ditinjau dari sisi jenis kelamin tapi dari kepatuhan dan keta’atan serta kokohnya iman sebagai karunia dari Allah SWT. yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan, seperti yang diberikan kepada Tuan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs.
Firman Allah SWT:
“Laki-laki itu tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak oleh jual-beli dari mengingat Allah SWT., dari mendirikan Shalat dan dari memberi zakat. Mereka takut pada suatu hari (yang dihari itu) dimana hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. (24). An Nuur. Ayat: 37)
Firman Allah SWT:
“Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. (21) Al-Anbiyya, ayat: 7)
Dari ayat tersebut menjadi tuntutan hukum bagi setiap insan agar hidupnya bahagia didunia dan selamat diakherat untuk mencari ilmu dan bertanya kepada yang memiliki keahlian sebagai karunia dari Allah SWT. dalam berbagai hal kehidupan, dengan diiringi rasa tawadhu dan tadhoru serta penuh harap mendapatkan banjir barokah melalui wasilahnya, seperti seorang perempuan yang datang menghadap kepada Syayyid Abdul Qodir Al-Jaailani qs. dengan tekad yang kuat dan usaha maksimal sambil menangis penuh dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuan Syekh Abdul Qodir bisa menghidupkan lagi anaknya yang hilang tenggelam di lautan.
Firman Aallah SWT.:
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah SWT. Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS.5 Al Maidah ayat: 35)
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani berkata:
“Wahai saudaraku masuklah pada thoriq (jalan) dan kembalilah kepada Tuhanmu bersama kafilah ruhaniyah, waktunya sudah sempit, jalan hampir terputus dan sulit mencari teman menuju jalan itu. Sedangkan kita lahir ke dunia yang hina dan rusak ini bukan untuk makan dan minum saja, dan bukan pula untuk memuaskan kepentingan nafsu kotor belaka (Kitab Sirrul Asror hal: 15)
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani berkata:
“Wajib kepada manusia mencari/belajar agar hatinya hidup bersifat ukhrowi dari ahli talqien didunia sebelum waktunya habis (mati). Karena sesungguhnya dunia itu kebunnya akherat, siapa yang tidak bercocok tanam didunia maka nanti tidak akan memetik buahnya diakherat”. (Kitab Bayanutasdiq, hal: 17)
Dalam pembahasan Ilmu Tasawuf hati yag hidup adalah hati yang berdzikir kepada Allah SWT. (Dzikrullah). Orang yang dzikrullah disebut Ma’rifatullah atau mengenal alam Lahut yaitu negeri asal tempat Ruh Al-Qudsi diciptakan dalam bentuk terbaik (waktu semua ruh di tanya: bukankah Aku ini Rab kalian ?, semua ruh menjawab: benar..Engkau adalah Rab kami” QS.{7} Al-A’raaf, ayat: 172). yang dimaksud dengan Ruh-Alqudsi adalah hakekat manusia yang disimpan rapat di dalam lub Al-Qolbi (lubuk hati) dan para Ulama Sufi menyebutnya bayi maknawi karena berasal dari maknawiyah Al-qudsiyah (Sirrur Asror, hal: 20)
Hati yang mati adalah hati yang tidak dzikrullah dan orang yang hatinya tidak dzikrullah (Ghoflah) dapat diibaratkan kehilangan anak satu-satunya tenggelam di lautan. Maka ketika perempuan itu memohon bantuan Syayyid Abdul Qodir agar anaknya hidup lagi, beliau hanya berkata: benar.. Sekarang kembali saja kerumah anakmu sudah ada!. Rumah secara khusus adalah tempat tinggal yang resmi bagi manusia sedangkan tempat tinggal yang resmi bagi Ruh Al-Qudsi/ bayi maknawi/ bibit iman adalah Al-qolbu (hati). Rasulullah SAW bersabda: “Hati orang yang beriman adalah tempat untuk mengingat Allah SWT”.
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani berkata:
“di dalam hati tidak bisa berkumpul makhluk dan kholik, dunia dan akhirat. Jika kamu menginginkan Allah SWT. Maka keluarkan dari dalam hatimu dunia dan akhirat serta apa-apa selain-Nya, karena bila di dalam hatimu masih ada selain Allah SWT. Walaupun seberat biji sawi, selamanya tidak akan melihat apa yang disebut dengan ketenangan, ketentraman, kebahagiaan dan kebenaran yang haqiqi.”
(Kitab Fathu Ar-Rabaniy, hal: 118)
Dapatlah difahami bahwa kata “kembali saja kerumah” menjadi kata kias dari amar (perintah) kembali kepada Allah SWT, kembali kepada hukum Allah SWT, kembali kepada fitrah penciptaan manusia, kembali ke Qolbu sesuai fungsinya atau kembali kepada ikrar janji manusia sebelum lahir kedunia.
Firman Allah SWT.
“Siapa yang mengharap perjumpaan dengan Allah SWT. maka hendaknya ia mengerjakan amal sholeh dan jangan mempersekutukan Allah SWT. dalam beribadah (QS. Al-Kahfi, ayat: 110)
Diterangkan pula bahwa: sampainya ke alam ma’rifat yaitu dengan cara melatih diri meninggalkan keinginan nafsaniah walaupun terasa susah serta istiqomah melatih ruhaniah pada jalan yang diridloi Allah SWT. tanpa ada unsur riya dan sum’ah (ingin dipuji orang dan mencari kemasyhuran)”. (Kitab Sirrul Asror hal: 19)
Hidup di dunia adalah sebuah proses dan tidak ada yang sempurna, yang ada adalah menapaki jalan resmi menuju kesempurnaan serta tidak ada yang berakhir (selesai) dalam amaliyah yang ada adalah beramal (bekerja) pasti sampai batas akhir karena dunia adalah lahan konsekuensi ikhtiari yang disediakan bagi manusia untuk menentukan jati-dirinya. .
Firman Allah SWT.:
“(Allah SWT.) yang menjadikan mati dan hidup untuk mengujimu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkaksa lagi Maha Pengampun.”(QS. Al-Mulk, ayat : 2)
Walaupun demikian namun dengan Rahman dan Rahimnya Allah SWT. sebagian kecil tanda-tanda pintu kesempurnaan atau hasil akhir dari pekerjaan yang dilakukan sudah dapat dirasakan manusia di dunia dan itu-pun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya, sebagaimana Rasululah banyak ber-do,a dengan ini: “Yaa Allah, berilah hamba kebaikan di dunia dan kebikan di akhirat dan jagalah hamba dari siksa neraka. Hadits Muttafaq ‘alaih (Bulughul Maram, hal: 568)
Upaya untuk mencapai ma’rifatullah tersebut ditamsilkan dengan cara seorang perempuan memohon do’a dan mengikuti petunjuk Sayyid Abdul Qodir secara rotin kembali kerumah untuk melihat keadaan anaknya, akhirnya dengan ke-Maha Kuasaan Allah SWT. anaknya-pun ada dalam keadaan selamat.
Sedangkan dari dialog Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani dengan Allah SWT. mengisarohkan tentang penjelasan sebuah proses, bahwa dalam setiap kebaikan (thoyyibah) dan Syari’at Islam yang sudah dapat dilakukan pada dasarnya telah tumbuh bibit Iman, namun untuk mencapai iman yang sempurna, iman yang kokoh dan kuat memerlukan tahapan-tahapan pasti rotinitas amaliyyah dalam wilayah hukum-Nya, karena semua yang diatur dalam Syari’at Islam adalah satu-satunya cara yang dapat mengantarkan manusia mencapai kesempurnaan iman dan akhir dari semua pengharapan.
Secara sistematis kaifiyyat mencapai derajat ma’rifatullah itu dijelaskan sbb: bahwa Ruh Al-Qudsi/bayi maknawi/iman yang haqiqi (atau disebut dengan istilah: anak yang hilang tenggelam dilautan) akan dirasakan keberadaanya (Hidup lagi) dalam kehidupan manusia di dunia dengan tiga cara (tidak bisa dipisahkan), yaitu: 1. dengan bertaubat, 2. dengan ditalqien, dan 3. dengan membiasakan mengucapkan kalimat: “Laa Ilaaha Illa Alloh”. (Kitab Sirrul Asror hal: 20)
1. Taubat
Taubat adalah kembali dari sifat-sifat tercela kepada sifat-sifat terpuji (Tanwirul Qulub, hal. 418). Taubat itu membersihkan hati dari berbagai kotoran (Hamka, Pelajaran Islam, hal: 351). Taubat itu sebuah penyesalan Hadits Ibnu Majah (Kitab Ibnu Katsir jilid IV, hal 393). Secara umum Taubat itu berhenti dari dosa kembali kepada Tho’at, dari sifat tercela kepada sifat terpuji, dari Neraka Jahim kepada Surga, dari istirahat jasmani kepada sibuk melatih ruhani dengan dzikir dan perjuangan maksimal. Secara khusus, taubat itu dari kebaikan kepada ma’rifat, dari derajat kepada qurbah, dari kenikmatan jasmani kepada kenikmatan ruhani, meninggalkan apapun selain Allah SWT., menjadi jinak dengan-Nya dan melihat Allah SWT. dengan Ainul Yaqin (Sirrur Asror, hal: 57).
Maka tahap awal untuk mencapai ma’rifatullah adalah dengan melakukan berbagai aktifitas thoyyibah jasmani dan ruhani yang diridloi Allah SWT. (manivestasi iman) khususnya “dzikru bi Laa Ilaha Illa Alllah” sehingga tidak ada waktu terbuang dengan sesuatu yang tidak berguna, ini dianalogikan dan ditegaskan sbb: “ucapanmu yang pertama benar ada, namun malaikat baru mengumpulkan jiwa raganya yang sudah berserakan”.karena pada hakekatnya bahwa ibadah (manivestasi iman) atau semua kebaikan yang dapat dilakukan manusia pada dasarnya hidayah dari Allah SWT. melalui pengawasan dan bimbingan Ruh suci. Sepeti dijelaskan: “dengan Rahman Rahimnya Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya, maka diutuslah para malaikat untuk membelai hati para hamba dengan sayapnya sehingga ia mencucurkan air mata (Tanwirul Qulub, hal: )
2. Talqien
Talqien menurut bahasa artinya pelajaran, menurut istilah ulama sufi artinya: mengambil pelajaran dzikir dari seorang ahli yang hatinya taqwa dan bersih dari selain Allah SWT. (Sirrur Asror, hal: 52). Talqien itu peringatan guru kepada murid, sedangkan bai’at yang juga dinamakan ahad, adalah sanggup dan setia murid dihadapan gurunya untuk mengamalkan dan mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkan (Miftahus Shudur, hal: 28)
Firman Allah SWT.:
“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan siapa yang disesatkan-Nya maka tidak akan mendapatkan pemimpin yang akan memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi, ayat: 17)
Rasulullah bersabda:
“Aku ajarkan kalimat baik ini kepada para sehabat agar dapat membersihkan hatinya dan mensucikan Nafsnya sehingga sampai ke-Hadirat Allah SWT. dan mendapat kebahagiaan yang abadi (qudus) “. (Miftahus Shuduur II, hal: 25)
Imam Al-Ghozali berkata: “Guru itu sebagai pembuka jalan untuk mengetahui ilmu, dan jika beserta guru akan lebih gampang dan lebih senang, dan Allah SWT. dengan karunia-Nya akan memberi langsung kepada para hamba-Nya yang Ia kehendaki. Dalam hal demikian Allah SWT. jualah yang mengajarkan kepada mereka.” (Minhajul Abidin, hal: 47).
Jadi talqien itu merupakan petunjuk lahir bathin/proses kesediaan insan taklifi dari dan dihadapan seorang ahli untuk menerima limpahan hidayah dari Allah SWT. Yang Maha Suci, yaitu dengan cara menyalakan kembali pelita hati yang padam dengan api iman yang menyala dari jiwa orang yang telah mendapat limpahan lampu iman, atau mengingatkan kembali hati yang lupa dengan kalimat ingat (iman) dan menghidupkan kembali hati yang mati dengan kalimat yang menjadi sebab adanya hidup dan kehidupan yaitu: kalimat “Laa Ilaaha Illalloh”. Hal ini nampaknya dianalogikan sbb: “Perkataanmu yang ke-dua juga benar namun baru lengkap anggahota tubuhnya serta dihidupkan”. Tegasnya bahwa: “Dzikir itu tidak memberi manfaat yang lengkap kecuali dengan cara ditalqienkan.” (Miftahuysh Shudur.I, hal: 21), Sayyid Abdul Qodir berkata: Ilmu itu diambil dari lisan rijal bukan dari kitabnya. Rijaalullah itu: ia bertaqwa, memiliki tirkah, mewariskan, mengetahui, mengamalkan dan ihlash (Fathur Robani, hal: 124)
Firman Allah SWT:
” …hampir saja minyaknya itu menerangi walaupun tidak disentuh api, cahaya diatas cahaya dan Allah SWT. akan memberikan hidayah cahaya-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki… .(QS. {24}An-Nuur, ayat: 35)
Rasulullah bersabda:: “iman itu bukan hanya harapan yang tak kunjung tiba (tamanni) dan bukan pula hiasan diujung lidah, tapi iman itu ialah yang tertanam di lubuk hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Riwayat Ibnu Najar dan Dailami dari Anas.” (Lautan Tanpa Tepi, hal: 62)
3. Membiasakan mengucapkan Kalimat ”Laa Ilaaha Illa Alloh”
Kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah kalimat nafi dan isbat, kalimat dzikir paling utama mengandung makna: tidak ada yang dimaksud kecuali Allah SWT., tidak ada yang disembah kecuali Allah SWT. dan tidak ada yang maujud kecuali dari Allah SWT, disukai para Rasul, para Nabi, para Shahabat, para Wali dan para Ulama pewaris Nabi.
Firman Allah SWT.:
“siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh dinaikan-Nya (QS. Al Fathir, ayat: 10)
Para mufasiriin mengatakan bahwa kalimat yang baik itu adalah kalimat “Laa ilaaha Illa Allah”, kalimat yang membawa naik semua amal shaleh ke-Hadirat Allah SWT.,kalimat yang menjadi wasilah semua yang asalnya dari Allah SWT. kembali kepada Allah SWT. dan kalimat yang menjadikan hatinya hidup abadi bersifat ukhrowi bila diucapkan memenuhi syarat-syarat tertentu, Nabi Muhammad SAW. bersabda: Syarat dzikir itu harus punya wudlu yang sempurna, dengan pukulan yang mengena, dan dengan suara yang kuat, sehingga Nur dzikir itu mencapai bathinnya orang-orang yang berdzikir, maka dengan nur dzikir itu hati mereka menjadi hidup abadi bersifat ukhrowi .” (Miftahush Shudur. I, hal: 9)
Firman Allah SWT:
“dan jika mereka istiqomah berada di atas jalan yang lurus (Thoriqoh), maka Kami benar-benar akan memberi mereka minum air yang segar (rizki yang banyak) (QS. Al-Jin, ayat: 16)
Syekh Ibrahim Al-Matbuli berkata:
“Angkat suaramu pada waktu dzikrullah sampai menghasilkan Al-Jam’iyyyat seperti para ‘Aarifiin (ahli ma’rifat), Al-Jam’iyyat itu adalah terkumpulnya cita-cita (ingatan) dalam bertawajuh kepada Allah SWT. serta penuh (sibuk) dengan dzikrullah tidak dengan yang lainya dalam bertawajuh. dan dikatakan: “bila murid ber-dzikir (Dzikrullah) dengan sungguh-sungguh dan tekad kuat, maka tingkatan (derajat) perjalanan (thoriqot) akan terbuka cepat, mugkin ditempuh dalam satu jam, bila dengan yang lain (selain dzikrullah) ditempuh dalam satu bulan atau lebih. (Miftahush Shudur, Jilid:I, hal: 10-11)
Dari sini dapat diketahui bahwa Dzikrullah hanya dapat dicapai dengan satu prinsip : syari’atnya manusia yang melakukan, hakekatnya Allah SWT. yang menentukan, bila kalimat “Laa Illaha Illa Alloh” dirotinkan dan diutamakan (memenuhi Syarat tertentu diatas) melebihi kesibukan serta tidak terkontaminasi oleh urusan duniawi, maka pintu rahmat/karunia akan terbuka lebar untuk mendapatkan limpahan hidayah yang tak terbatas dari Allah SWT. karena kalimat tersebut adalah akhir dari semua permohonan (do’a) dan puncak dari segala pengharapan (cita-cita) dikatakan: “bila (Allah. SWT) telah melepaskan lidahmu meminta, maka ketahuilah bahwa Allah SWT. mau memberi (Al-Hikam, hal:84). Asalya dzikir itu nikmat dan lezat, apabila Dzikrullah telah menguasaimu maka menjadi khusyu, mencucurkan air mata, terbakar dan tenggelam, itu sebagai tanda terbuka hijab (Miftahush Shudur.I, hal: 19)
Abi Qoyyim Al-Jaujiyah berkata:
“Hidupnya ruh itu dengan hidupnya kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” di dalam ruh, seperti hidupnya badan dengan adanya ruh di badan, siapa yang hidupnya di dunia ber-azaskan pada Kalimat Thoyyibah, maka ruh-nya berkisar di Surga Ma’wa dan hidupnya sebaik-baik kehidupan.” (Kitab Jawabul Kaafi, hal: 235)
Dengan keterangan tersebut nampak jelas pemahaman dari kata-kata: “Dan yang ketiga kalinya ketika perempuan itu sudah sampai dirumah anaknya sudah diangkat dari lautan dan di datangkan kerumahnya”
Firman Allah SWT:.
“…. lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.." (QS (48) Al-Fath, ayat: 26)
Firman Allah SWT.:
“….kemudian menjadi tenang (lentur dan ringan) kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah SWT. yang demikian itu petunjuk dari Allah SWT…… (QS. Az-Zumaar, ayat: 23).
Mafhumnya:
kalau bukan dari Allah SWT. manusia tidak akan mengenal Allah SWT., kalau tidak melalui Syari’at Allah SWT. manusia akan sesat jalan, dan kalau bukan wasilah orang yang telah mendapat hidayah dari Allah SWT. manusia tidak akan mendapat bimbing jalan hidup yang benar. Demikian pula kalau bukan ke-Maha Kuasaan Allah SWT. anak yang tengelam dilautan tidak mungkin bisa datang lagi kerumahnya dalam keadaan selamat. Zunnun Al-Misri berkata: aku mengenal Allah SWT. Karena Allah SWT. dan kalau bukan karena Allah SWT. aku tidak akan mengenal Allah SWT. (Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 76)
Hikmah kata-kata: Ya Allah SWT. Engkau membuat makhluk tak terhingga tidak mendapat kesulitan, begitu pula di alam ba’asy mengumpulkan jiwa makhluk yang banyak hanya sekajap. Sedangkan dalam masalah ini hanya seorang hamba, Ya..Allah SWT. apa hikmah dan alasan diperlambat ? Firman Allah SWT: Abdul Qodir engkau jangan sakit hati, sekarang silahkan meminta, apapun yang kamu inginkan akan Aku kabulkan (Manqobah).
Sulthon Auliya Syekh Abdul Qodir Al-jailani qs. berkata: dunia adalah daerah untuk beramal dan sabar atas segala ujian, daerah untuk berpayah-payah serta daerah untuk berusaha (Kitab Fahur Robanny, hal: 120), penjelasan ini adalah redaksi kata-kata dengan illat yang berbeda untuk mempertegas tujuan yang sama, yaitu mempertegas, bahwa Allah SWT. Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk menjadikan hidup di dunia ini serba instan, namun bila itu ditakdirkan artinya sama dengan melanggar takdir-Nya dan hidup mausia di dunia menjadi tidak berguna, sedangkan Allah SWT bersifat Al-Wa’du Wal Wa’id (Yang Maha Menepati Janji), dunia ditakdirkan untuk beramal dan akhirat ditakdirkan untuk memetik seluruh hasilnya.
Sebagai wujud syukur atas karunia Allah SWT. yang telah mentakdirkan hidup jadi berguna di dunia adalah dengan cara istikomah beramal dan beramal ibadah tanpa lelah dan putus-asa sampai batas akhir (ajal menjemput). dalam segala hal dilakukan tanpa pamrih, secara totalitas, kompleksitas kesetiaan muncul dari kesadaran terdalam berlandaskan pada iman dan keyakinan hanya Allah SWT. yang bisa dan pantas memberi pertolongan dan keutamaan. sehingga pengabdian dan cinta setia hanya kepada Allah SWT. tidak kepada yang lainnya, dan seandainya ada, itupun pasti tidak akan sama, karena merupakan wujud kepatuhan atau keihlasan yang bersumber dari Allah SWT.
Firmn Allah SWT.:
“Maka Ketahuilah bahwasanya Allah SWT. pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-bak penolong.” (QS. Al-Anfal, ayat: 40)
Firman Allah SWT.
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarahpun, niscaya dia melihat balasannya, dan siapa yang mengerjakan keburukan sebarat dzarahpun, niscaya dia melihat balasanya pula.” (QS. Az-Zalzalah, ayat 7-8)
Keterangan tersebut menunjukan bahwa dalam syari’at/hukum agama sudah terdapat permintaan (do’a) dan dengan amal ibadah sudah terdapat ijabah (ter-kabulnya do’a). maka dapat pula dianlogikan dengan redaksi kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama yaitu: Wahai para hamba Allah SWT, janganlah berputus asa (atas rahmat Allah SWT. dalam hal amal ibadah), sekarang silahkan (pelajari terus hukumnya /berdo’a) apapun amal ibadah yang dilakukan pasti mendapat balasan (Ijabah) yang setimpal baik di dunia maupun di akherat. Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani berkata: Aku mohon pertolongan (Allah SWT) dengan “Laa Ilaaha Illa Allah” (Manqobah ke-53, hal: 73).
Friman Allah SWT:
“….aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-B aqoroh, ayat: 186).
Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs, adalah hamba Allah SWT. yang patut diteladani dan dijadikan rujukan amaliah ibadah, setelah beliau mendengar jawaban pasti dari Allah SWT. kemudian bersujud, ini memberi pelajaran dan pemahaman penting bagi insan taklifi, antara lain: apabila telah mengetahui hukum syar’iyyah atau Wad’iyyah dalam beribadah seharusnya bersyukur dan patuh, begitu pula dalam dzikrullah, setelah mengetahui kaifiyyatnya (melalui talqien) sudah seharusnya diamalkan dan Istiqomah, seperti dilakukan Salman bin Uyanah setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW., tentang shalat sunat di bulan Rajab beliau terus sujud, bersyukur sambil menangis (gembira) karena ada tambahan amal yang jelas dibulan Rajab, Al-Hadits (Kumpulan Salat Sunat dibulan Rajab, hal: 10), begitu pula caranya para fuqoha dalam hal beribadah mereka selalu berpegang pada kaidah: ”Asal-nya (dasarnya) ibadah itu dilarang kecuali ada dalil yang menunjukan pada ibadah itu.”
Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs diwaktu sujud bermunajat: Yaa Allah SWT. Engkau Kholik (yang membuat) dan aku makhluk (yang dibuat) apapun pemberian-Mu aku sangat bersyukur. Ini tuntunan sikap orang-orang besar, sikap seorang hamba Allah SWT. yang menjadi tauladan dalam segala hal, apapun yang dilakukanya sebagai totalitas pengabdian wujud kepasrahan, tidak mengharapkan apa-apa yang bersifat duniawi bahkan bersyukur dapat melakukan amaliyyah dan ibadah dengan adanya pedoman yang jelas dan diridoi Allah SWT.; Apapun bentuknya tentu ada hikmahnya walaupun secara kasat mata tidak menyenangkan, karena yang datang dari Allah SWT. (bersumber dari Syariat-Nya) pasti membawa kepada sesuatu yang berharga.
Dari keteladanan ini lahir bermacam-macam sikap hidup terpuji dalam berbagai bentuk silaturrahmi, seperti tidak meminta namun tidak menolak pemberian walaupun dengan cara dilemparkan, dan menghargai niat baik yang memberi. dalam arti tidak menghinakanya, tidak membuangnya, tidak memberikan lagi pada orang lain dihadapanya walaupun tidak diperlukan dan tidak diinginkan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan atau tanpa idzin darinya. Itulah akhlak terpuji yang dijadikan tradisi untuk melatih diri dan pengakuan hati pada semua yang terjadi, bahwa pada hakekatnya baik dan buruk itu datangnya dari Allah SWT. Yang Maha Suci.
Sebagai umat yang berpegang teguh pada Syari’at Islam kadang-kadang tidak tepat dalam memahami arti do’a dan kerja yang diwujudkan dalam bentuk ibadah dan mu’amalah berlandaskan dzikrullah. Seharusnya permohonan atau do’a itu untuk sesuatu yang belum ada, sedangkan ikhtiar atau kerja itu untuk sesuatu yang sudah ada. Kalau begitu hal-nya, terus untuk apa memohon (berdo’a) kalau masalahnya sudah ada dan untuk apa bekerja (ikhtiar) kalau masalahnya belum ada.
Sering dalam permohonan itu mengharapkan duniawi, padahal kita ini sudah berada didunia. kalau alasan permohonan dilakukan karena tidak memiliki dunia yang diinginkan, itu bukan berarti masalahnya tidak ada, yang sebenarnya ada, namun belum sampai martabat memiliki, maka cara untuk mencapainya adalah dengan bekerja dan bekerja (ikhtiar) bukan dengan cara memohon dan memohon (berdo’a) tanpa kerja. karena memohon sesuatu yang sudah ada itu tidak berguna (atau loba/tamak), seperti ikan yang hidup di air mencari air, karena air penting bagi kehidiupan, hal ini dilakukan karena ikan makhluk yang tidak tahu air.
Dari sini dapat difahami munajatnya Sayyid adul Qodir yang ter-akhir, setelah Allah SWT. menawarkan keutamaan hidup dan harta yang banyak, beliau berkata: “Yaa Allah keduanya itu kurang ada manfaatnya bagiku setelah aku mati, aku memohon yang lebih agung dari itu dan tetap manfaatnya setelah aku mati.”
Intinya bahwa: mencari sesuatu yang bersifat duniawi di dalam pengabdian dan peribadatan menurut pandangan beliau kurang bermafa’at, bukan tidak bermanfa’at karena sifatnya sementara. dalam arti: selama hidup didunia bisa bermanfaat dan memang dibutuhkan serta dapat/harus diusahakan, karena dunia telah ditakdirkan bersifat ikhtiari yang bisa dicari, seperti untuk mendapatkan harta, tahta atau sesuatu yang luar biasa bersifat duniawi (Karomah atau kemuliaan hidup), namun semua itu tidak akan dibawa mati, sedangkan hidup di dunia untuk bekal hidup kekal di-akherat. oleh karena itu beliau memohon yang lebih agung dari diniawi dan tidak bersifat ikhtiri tapi merupakan karunia dari Allah SWT.
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qshosh, ayat: 56)
Begitulah cara Sayyid Abdul Qodir Al-Jailalni qs bermunajat, hanya rahmat dan hidayah dari Allah SWT. yang diharapkan dalam setiap amaliyyah thoyyibah yang dilakukan, dan cara ini pula yang di ikuti oleh para penerusnya seperti yang diajarkan oleh Syekh Mursyid, Syekh Ahmad Shohibul Wafa Taajul ‘Arifiin sebelum mengamalkan kalimah Dzikrullah (Laa Ilaaha Illa Allah) memohon kepada Allah SWT. dengan do’a: “ Yaaa Allah Engkau-lah yang aku maksud dan ridlo-Mu yang aku minta berilah aku untuk bisa mahabbah dan ma’rifat kepada-Mu.”
Namun dalam kenyataan waktu kita beramal tidak mudah untuk membedakan, semudah membalikan kedua telapak tangan, karena ada keinginan kuat berbersifat samar dalam wujud rupa yang sama, artinya: untuk duniawi dengan amal dan ibadah, untuk ukhrowi-pun dengan amal dan ibadah. Disini pentingnya ada tuntunan untuk melatih diri dengan hal yang utama dari yang dibiasakan para pendahulu hamba-hamba pilihan, seperti telah disusun dalam Kitab “Untaian Mutiara Berkilau” (Uquudul Juman Syekh Shohibul Wafa Taajul ‘Arifiin), antara lain ada permohonan, artinya: Wahai Yang Maha Lembut dan Maha Samar, berilah kami dengan kelembutan-Mu yang samar.
Adapun martabat dan kemuliaan orang yang wusul kepada Allah SWT (ma’rifatullah) tersebut adalah Allah SWT. yang menentukan, karena ia telah kembali kepada kemuliaan akhlak Allah SWT. Yang Maha Mulia, dan namanya telah menyatu dengan nama Allah SWT. yang meliputi seluruh nama-nama, serta telah sirna dalam ke-Maha Besaran Allah SWT. Yang Maha Besar. Ibarat setetes air dituangkan pada air di lautan, maka tidak ada lagi istilah sebutan setetes air, yang ada, yang nampak dan yang disebut adalah air laut yang ada dilautan. Itulah sebuah analogi dari redaksi kata-kata: “Namamu djadikan seperti nama Kami dalam balasan (ganjaran) dan kemanjuranya, siapa yang membaca namamu pahalanya (balasannya) sama dengan membaca nama Kami.”
Wallohu ‘alam
MANQOBAH KE- 16
MENGHIDUPKAKN SESEORANG DARI DALAM KUBUR
Diceritrakan dalam kitab Asroruth Tholobiin, pada suatu ketika Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs. melewati satu tempat, beliau bertemu dengan orang Islam yang sedang berdebat (adu argument) dengan bangsa Nasrani, kemudian Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani mencari tahu penyebab terjadinya perdebatan, kata orang Islam: kami sedang memperdebatkan siapa nabi yang paling utama Tuan..!, kata saya Nabi Muhammad SAW. Kalau kata nasrani ini lebih utama nabi Isa as. Sayyid Abdul Qodir berkata kepada nasrani: kamu itu menyatakan nabi Isa lebih utama apa dalilnya..?. kata nasrani: nabi Isa itu bisa menghidupkan orang yang sudah mati.. Kata Sayyid Abdul Qodir: kamu tahu saya ini bukan nabi tapi yang mengikuti dan memegang agama nabi Muhammad SAW.? Kata Nasrani: kalau itu tentu saja saya tahu. Kata Sayyid Adul Qodir: seandainya aku bisa menghidupkan yang sudah mati, apa kamu akan iman kepada nabi Muhammad.? Jawabnya: tentu saya akan iman. Kata Sayyid Abdul Qodir: mari kita cari kuburan yang sudah lama, akhirnya menemukan kuburan kira-kira sudah lima ratuas tahun lamanya. Kata Sayyid Abdul Qqodir: kalau Nabi Isa mengidupkan yang mati bagaimana perkataannya?, Kata Nasrani “Kum biidznillah”! artinya: bangun kamu dengan idzin Allah SWT. coba dengarkan kalau kami begini: “Kum Biidznii” artinya: bangun kamu dengan idzinku. Kemudian kuburan itu terbelah dan mayitnya keluar dari kuburan sambil bernyayi karena tadinya orang itu pekerjaanya bernyanyi.kemudialn nasrani itu-pun masuk islam.
Hikmahnya:
Kalau kita perhatikan dari pertanyaan dan tindakan Sayyid Abdul Qodir Al-Jaiani qs, dalam upaya melerai perdebatan, maka tersirat pemahaman dari ceritra dalam Kitab Asroruth Tholibin (beberapa Rahasia para murid) tersebut, intinya lebih mempertegas hakekat para Nabi diutus oleh Allah SWT. kedunia, bukan semata-mata mempermasalahkan siapa nabi yang paling utama (karena hal ini sudah jelas). Semua Nabi menjadi paling utama pada zamannya, sedangkan pengalaman dalam risalah ke-nabian dari zaman ke-zaman terus dijadikan pelajaran dan disempurnakan sampai zaman Nabi Muihmammad SAW sehingga beliau mendapat gelar Sayyidul Anbiya. Khotamin Nabiyyin Rohmatan Lil’aalamiin dan orang-orang Nasranipun mengenal Nabi Muhammad sebelum lahir seperti mengenal kepada anaknya sendiri.
Firman Allah SWT:
‘Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." …. (QS (61) As- Shaf, ayat: 6)
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu’. (QS. (33) Al-Ahzab, ayat: 40)
Firman Allah SWT:
“pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.
(QS. (5) Al-Maidah, ayat: 3)
Tahapan-tahapan risalah kenabian ini menjadi pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia di dunia, bahwa hidup didunia adalah sebuah proses amaliyah taklifiyah. apapun bentuknya hari ini, adalah hasil dari perjalanan dan perjuangan masa lalu/para pendahulu. yang harus disyukuri, dihormati dan jangan dilupakan.
dikatakan: siapa yang tidak beradab dianggap tidak menjalankan syari’at, tidak beriman, dan tidak bertauhid. Dengan beribadah seorang hamba bisa sampai ke-sorga tapi tidak sampai ke-Hadirat Allah SWT, kecuali dengan beradab dalam beribadah. (Kitab Minahus Saniyah, hal: 16) dan dikatakan: menghadirkan guru (akhlaq guru) dalam berdzikir agar rasanya ditemani rasa gurunya (wusul) kepada Allah SWT. adalah adab yang paling utama. (Kitab Kifayatul Atqiya, hal: 107). Manivestasi adab ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam perjalanan Isro’ Mi’raj (memenuhi panggilan Allah SWT), beliau mendatangi dahulu ketempat-tempat Nabi pilihan ditugasakan dan melaksanakan shalat dua raka’at ditempat itu atas perintah Allah SWT. melalui bimbingan Malaikat Jibril as (Kitab Hasyiyah, hal: 7-8). Didalam Al-Qur’an tempat-tempat itu disebut dengan: “yang disekitarnya penuh barokah” (QS. 17- Al- Israa’, ayat: 1). Sekarang perjalanan itu populer dengan istilah ziaroh atau bersilaturrahim kepada Ulama bersar baik masih hidup ataupun sudah meninggal dunia dengan mengharap keberkahan.
Para Nabi diutus oleh Allah SWT. ke-dunia untuk tugas yang sama yaitu meluruskan dan memperkokoh Tauhid yang diwujudkan dalam bentuk ibadah sesuai syari’at-Nya, dalam arti untuk menghidupkan kembali hati yang mati terkukbur dalam kenikmatan jasmani, sebagaimana dikatakan: “ketika ruh merasa senang berada di dalam jasad, ruh lupa pada perjanjian awal (waktu di alam Lahut) yaitu pada hari ditanya: Bukankah Aku ini Rab kalian, ruh menjawab: benar Engkau adalah Rab kami, ”( QS.{7} Al-A’raaf, ayat: 172). akibatnya ruh tidak bisa pulang kenegeri asal, maka Allah SWT. dengan kasih-Nya memberi pertolongan kepada mereka, dengan menurunkan kitab-kitab samawi sebagai peringatan tentang negeri asal. Firman Allah SWT: “berilah peringatan pada mereka tentang hari-hari Allah” (hari-hari pertemuan dengan Allah SWT. di alam Lahut)”.(QS. 14 Ibrahim, ayat: 5)
Firman Allah SWT:
“Hai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, membawa kabar gembira, memberi peringatan, menyeru untuk kembali kepada Allah SWT. Dengan izin-Nya serta untuk menjadi cahaya yang menerangi. (QS. (33) Al-Ahzab, ayat: 45-46)
Firman Allah SWT:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,(QS. (62) Al-Jumu’ah, ayat: 2)
Syari’at Nabi Muhammad SAW. (yaitu: Al-Qur’an dan Al-Hadits) sudah sempurna dan telah melengkapi Syari’at Nabi-Nabi sebelumnya, maka tidak ada lagi syari’at Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yang ada adalah Ulama pewaris para Nabi. melanjutkan risalah Nabi Muhammad SAW.sampai akhir zaman. dan segala sesuatunya dalam hal amal ibadah lebih lengkap. lebih jelas dan menjadi lebih mudah untuk dapat dilaksanakan. Diantaranya yang paling mendasar adalah:
Frman Allah SWT.:
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS- (3) Ali Imron, ayat: 64)
Firman Allah SWT:
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan pandangan yang nyata (basyiroh), Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. (12) Yusuf, 108)
Di dalam tafsir Ibnu Abas hal: 49: dijelaskan, bahwa: yang dimaksud “kalimat sawa” adalah kalimat: La Ilaaha Illa Allah”, sedangkan yang dimaksud dengan “basiroh” adalah pandangan yang jelas (agama). atau pandangan Rasulullah SAW yang telah mendapat limpahan hidayah dari Allah SWT. Firman Allah SWT: “dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. {18} Al-Kahfi, ayat 65). Rasulullah bersabda: yang paling utama aku ucapkan dan yang diucapkan Nabi-nabi sebelumku adalah “Laa Ilaaha Illa Allah” (Miftahus Shudur.I, hal: 13), kalimat ini secara khusus diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada para sahabatnya yang disebut dengan Talqien Dzikir.
Rasulullah bersabda:
“Aku ajarkan kalimat baik ini kepada para sehabat agar dapat membersihkan hatinya dan mensucikan Nafsnya sehingga sampai ke-Hadirat Allah SWT. dan mendapat kebahagiaan yang abadi (qudus) “. (Miftahus Shuduur II, hal: 25)
“Setiap bai’at (pelajaran) yang di dapat setelah Nabi Muhammad SAW. Itu memperbaharui bai’at (pelajaran) yang telah dicotohkannya, adapun orang-orang ‘Arifiin adalah pengganti beliau”. (Miftahush Shuduur (II) , hal: 27)
Talqien (pelajaran) Dzikir meliputi dua hal mendasar, yaitu Jahar dan khofi berazaskan ilmu syari’at dan ma’rifat, lisan dan janan, Lahir dan bathin karena Al-qur’an meliputi dhohir bathin memenuhi kebutuhan jismani dan rohani manusia bisa kembali ke-negeri asal (alam Lahut). maka Dzikir Jahar itu lahiryiah (Kalimah Thoyyibah) diucapkan di lisan berdasarkan ilmu syari’at atau dlohirnya Al-Qur’an, sedangkan Dzikir khofi itu bathiniyah (Kalimah Thoyyibah) diucapkan dihati berdasarkan ilmu ma’rifat atau bathinnya Al-Qur’an,
Syekh Abdul Mawahib Asy Syazili: berkata: Ulama-ulama berlainan pendapat: manakah yang lebih utama, Dzikir jahar atau dzikir Sirri? Disitu aku berkata: sesungguhnya dzikir Jahar sangat utama untuk menambah kekuatan (bulatnya tekad) bagi Ahli bidayah. dan dzikir Sirri sangat utama untuk menambah kekuatan Al-Jam’iyyat (kumpulnya cita-cita dalam bertawajuh) bagi Ahli Nihayah (Miftahus Sudur, hal: 11).
Dan dikatakan: untuk melihat keberadaan ruh Al-qudsi, mula-mula dzikir diucapkan dengan lisan lidahnya, setelah hatinya hidup kemudian dengan lisan hatinya. Oleh karena itu mula-mula manusia memerlukan ilmu syari’at agar jasmaninya mempunyai kegiatan untuk mencapai pengetahuan di alam ma’rifat sifat, yaitu darajat. Kemudian membutuhkan ilmu bathin agar ruhnya mempunyai kegiatan untuk mencapai pengetahuan di alam ma’rifat Dzat, yaitu Al-Qurbah di alam Lahut negeri asal tempat diciptakanya Ruh Al-Qudsi dalam bentuk terbaik. Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu itu ada dua macam, pertama illmu lisan, sebagai hujjah Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya kedua ilmu bathin, ilmu yang berguna untuk mencapai tujuan”. (Sirrul Asror, hal: 20)
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya ilmu bathin itu adalah rahasia dari rahasia-Ku yang Aku jadikan di dalam qolbu hamba-Ku dan tidak ada sesuatupun yang bisa tetap di dalam hati hamba-Ku selain Aku.” (Sirrul Aasror, hal: 26)
Dengan demikian bahwa dzikir Jahar itu dzikir yang secara tekstual masih ada antara/jarak sebagai hujjah ikhtiariyah Jismaniyah merupakan tahap awal selama hidup didunia dan masih membutuhkan penyempurnan yang bersifat bathinyyah (dikiaskan dengan Syari’at Nabi Isa yang belum lengkap). difahami dari jawaban orang Nasrani: kalau Nabi Isa mengidupkan yang mati bagaimana perkataannya?, Kata Nasrani “Kum biidznillah”! artinya: bangun kamu dengan idzin Allah SWT.
Sedangkan dzikir Khofi secara tekstual tidak ada antara/jarak sebagai hujjah ikhtiariyah bathiniyah tahap penyempurna di dunia untuk mendapatkan limpahan hidayah qolbiyah ukhrowiyah tidak bersifat ikhtiri jismai tapi bersifat karunia dari Allah SWT Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. (dikiaskan dengan syari’at Nabi Muhmammad yang sudah lengkap yang dilajutkan oleh para Ulama pewaris para Nabi sampai akhir zaman), difahami dari perkataan Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani: “Coba dengarkan kalau kami begini: “Kum biidzni” artinya: bangun kamu dengan idzinku.”.
Dzikir Jahar tidak sempurna tanpa dzikir khofi, dzikir khofipun tidak akan sempurna tanpa diawali dengan dzikir Jahar, sebagaimana dikatakan: bahwa ibadah yang sempurna itu dengan keduanya tidak dengan mengambil salah-satunya. Firman Allah SWT:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. (51) Adz Dzariyyaat, Ayat: 56), yaitu untuk Ma’rifatullah. Karena bagi orang yang tidak Ma’rifatullah bagaimana bisa beribadah kepada Allah SWT.
Ma’rifatullah bisa dicapai dengan membuka tirai diri yang menghalangi cermin hati dengan membersihkannya (dzikrullah), maka dengan (dzikrullah) akan melihat keindahan mutiara yang tersembunyi di dalam Sirr Lub Al-Qolbi/lubuk hati (Sirrul Asror, hal: 16) . keterangan ini nampaknya dikiaskan dengan kata-kata: “Kemudian kuburan itu terbelah dan mayitnya keluar dari kuburan sambil bernyayi karena tadinya orang itu pekerjaanya bernyanyi. Bernyanyi adalah ungkapan perasaan yang tampak kepermukaan menjadi alunan suara yang sangat indah memberi kedamaian. Sebenarnya tidak ada kedamaian yang hakiki dan tidak ada ketenangan yang abadi di dunia ini melebihi kedamaian hati dan ketenangan ruhani dengan dzikrullah, karena tadinya (di alam arwah) semua ruh berdzikrullah.
Firman Allah SWT.:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. (13) Ar Ra’du, ayat: 28)
Dengan dzikrullah semua amal sholeh menjadi terangkat, semua perkataan jadi manfaat, semua yang kurang jadi lengkap dan semua aturan jadi sempurna, ini nampaknya dikiaskan dengan Istilah: Kemudian Nasranipun akhirnya masuk Islam”
Firman Allah SWT.:
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal saleh dinaikan-Nya (QS. Al Fathir, ayat: 10)
Adapun kuburan yang usianya sudah 500 tahun mengisyarohkan pada jarak antara waktu Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs dengan Nabi Muhammad SAW kurang lebih 500 tahun. Difahami dari keterangan sbb: semua Ruh berasal dari Ruh Muhammadiyyah, sabda Nabi Muhammad SAW: aku dari Allah SWT, dan yang beriman dariku (Sirrul Asror, hal: 11), sedangkan Nabi Muhammad SAW. Lahir kedunia berbarengan dengan lahirnya Ruh Muhammadiyyah dalam bentuk tatanan dan takaran syari’at Agama Islam yang sempurna, sebagaimana Siti Aisyah mengatakan: bahwa Akhlaq Nabi Muhammad SAW itu akhlak Al-Qur’an, dan jelaskan: Ketika Allah SWT. ingin menampakan Hakikat Muhammadiyyah maka diwujudkan dalam bentuk rupa jasmani dan rohani Nabi Muhammad SAW”. (Kitab Barjanji, hal: 76-77).
Dari keterangan ini dapat pula dianalogikan (sebuah istilah) bahwa ruh yang lahir dalam wujud jasmani di zaman Sayyid Abdul qodir Al-Jailani adalah ruh yang telah mati terkubur selama 500 tahun, demikian pula yang lahir di tahun 2011 M. ini, adalah ruh yang telah mati terkubur selama kurang lebih 1.500 tahun.
Wallohu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar